Halo !!! Saya Kang Ismet, ini adalah blog tentang AMP HTML dan cara penerapannya

Sosiologi pendidikan Sekolah dan keluarga sebagai system social

ekolah dan keluarga sebagai system social


A.Kelas sebagai system social 

Kelas merupakan bagian dari mikrososiologi yang menelaah kehidupan kelompok sosial di sekolah dengan keseluruhan dinamika yang terjadi di dalamnya. Di sana terdapat gabungan dari individu-individu yang membentuk suatu kelompok sosial yang teratur dan memiliki fungsi dan peran yang kompleks dalam kacamata pendidikan. Ruang kelas memenuhi standar definisi kelompok sosial karena sekumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi (Horton dan Hunt, 1984). Hakikat keberadaan kelompok sosial bukan tergantung dari dekatnya jarak fisik, melainkan pada kesadaran untuk berinteraksi, sehingga kelas bersifat permanen dan tidak hanya suatu agregasi atau kolektivitas semata. Pada akhirnya, peran dan fungsi yang diembannya dalam struktur pendidikan lebih terjamin.

Sedangkan sistem merupakan kumpulan dari beberapa bagian fungsional yang saling berhubungan dan tergantung satu dengan yang lain dalam waktu tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan sistem Sosial adalah pendekatan fungsional struktural. Sudut pendekatan tersebut menganggap bahwa masyarakat, sebagai suatu sistem fungsional yang terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium. Fungsional struktural memandang masyarakat seperti layaknya organisme biologis yang terdiri dari komponen-komponen atomistis dan memelihara hubungan integratif-sistemik agar metabolisme kehidupan masyarakat tetap terjaga. 

1. Struktur Sosial Kelas 

Ruang kelas merupakan miniatur dari kelompok yang lebih besar, yaitu masyarakat karena di sana berkumpul person-person dari latar belakang status sosial dan ekonomi yang berbeda-beda, meskipun dengan struktur profesi dan peran yang sama. Beberapa ciri khas struktur kelas yang memiliki kesamaan dengan masyarakat adalah sebagai berikut.

a. Komposisi Anggota 
Heterogenitas adalah aspek umum yang hampir selalu ada di kelas manapun. Di sana, selain latar belakang kehidupan yang berbeda-beda, juga terdapat perbedaan jenis kelamin (seksualitas) kecuali di sekolah khusus, keberagaman agama, sampai pada karakteristik individu yang saling berlainan secara fisik maupun psikis yang ditandai dengan perbedaan antarpersonalnya. Keberagaman komposisi kelas merupakan warna yang biasa, seperti halnya dalam masyarakat karena institusi pendidikan berlaku universal yang memberi kebebasan bagi siapa saja yang memenuhi syarat untuk bergabung. 

b. Struktur Birokratis Berupa Peran dan Status 
Di dalam kelas yang majemuk itu, terdapat suatu tata aturan kelas yang diikat oleh sekolah dan diperankan oleh wakil-wakil siswa yang disebut pengurus kelas. Lahirlah berbagai “jabatan” yang terbentuk secara hierarkis sesuai dengan tugas dan kewenangan mereka di dalam kelas, baik itu oleh guru yang berperan sebagai wali kelas maupun siswa-siswanya yang terakumulasi dalam jabatan ketua kelas, sekretaris, bendahara, dan seterusnya. Pola imitatif yang dibawa dari lingkup luar masyarakat ini tersusun karena diperlukannya sistem penegakan tata aturan institusi serta pola pengendalian sosial yang ketat mengingat fungsi dunia pendidikan yang sedemikian nyata sehingga memerlukan tindakan konkret untuk pelestarian fungsi institusi dan segenap norma-norma kelas dan sekolah tersebut. Salah satu bentuknya adalah penetapan status birokratis dari unsur-unsur kelas yang merepresentasikan anggota-anggotanya sebagai wujud dari masyarakat kecil.

2.Pola Komunikasi dalam Kelas 

Komunikasi menjadi elemen penting dalam segala kegiatan di kelas karena memungkinkan adanya pertukaran interaksi timbal balik antara warga kelas (murid-murid ataupun murid-guru). Selain itu, arti penting komunikasi dalam pencapaian tujuan belajar di kelas adalah untuk mengkomunikasikan dan menyalurkan informasi dan keterampilan. Konsekuensi logisnya, setiap kelas memerlukan adanya pola alur komunikasi yang berjalan secara lancar dan efektif dari masing-masing pihak.

5. Iklim Sosial di Kelas 

Kelas merupakan perwujudan masyarakat heterogen kecil di mana di dalamnya terdapat variasi komposisi dan hubungan antar personal yang melahirkan mekanisme interaksi sosial yang kontinu. Mekanisme ini terus berlanjut dala lingkup sosialnya (di kelas) dan secara faktual terakumulasi ke dalam bentuk-bentuk hubungan antara individu-individu di dalam suatu kelas ataupun hubungan kelompok.

Menurut  Faisal dan  Yasik (1985)  terdapat enam iklim sosial yang timbul di kelas yaitu sebagai berikut.

a.Iklim Terbuka 
Dalam iklim terbuka ini, tingkah laku guru menggambarkan integrasi antara kepribadian seorang guru sebagai individu dan peranannya sebagai pimpinan di dalam kelas. Dia selain memberikan kritik, juga mau menerima kritikan dari para siswa. Hubungan guru dengan siswa bersifat fleksibel sehingga suasana ini dapat mempertinggi kreativitas siswa karena mereka dapat bekerja sama dan berkreasi tanpa adanya beban mental. Kebijaksanaan yang diambil seorang guru biasanya memberikan kemudahan bagi setiap siswa untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Efeknya, setiap murid biasanya dapat memperoleh kepuasan dalam melaksanakan tugas hubungan ini serta dapat memperlancar jalannya organisasi di kelas maupun organisasi di sekolah yang lebih luas.
 
b.Iklim Mandiri 
Dalam bentuk ini, masing-masing mendasarkan pada kemampuan dan tanggung jawab yang mereka miliki. Para siswa mendapatkan kebebasan dari guru untuk mendapatkan kebebasan kebutuhan belajar dan kebutuhan sosial mereka. Mereka tidak terlalu dibebani dengan tugastugas yang berat dan menyulitkan mereka. Untuk memperlancar tugas siswa, seorang guru membuat prosedur dan peraturan yang jelas, yang dikomunikasikan di dalam kelas. Yang lebih esensial dalam iklim mandiri ini, antara guru dan siswa bekerja sama dengan baik, penuh tenggang rasa, dan penuh kesungguhan hati. Kepercayaan dan tanggung jawab masing-masing membuat guru memberikan kelongggarankelonggaran sehingga kontrol yang ketat tidak diperlukan karena para murid dipercaya memiliki moral yang cukup tinggi.

c.Iklim Terkontrol 
Dalam iklim terkontrol ini, titik sentral kebijakan seorang guru adalah menekankan pada pencapaian prestasi siswa di kelas, tetapi di sisi lain justru mengorbankan kepuasan kebutuhan sosial siswa. Oleh karena tuntutan ini, para guru menjalankan komando mengajar secara kaku dan keras serta siswa diharuskan menjalankan kegiatan belajar dengan keras. Mereka akhirnya sibuk dengan kesibukannya sendiri-sendiri sehingga tidak bisa mendapat kesempatan untuk membentuk hubungan kerja yang lebih akrab dan sosialitas tinggi. Hubungan pribadi sesama siswa jarang dilaksanakan karena mereka sibuk dengan pekerjaan atau tugas mereka sendirisendiri yang dituntut prestasi dan keberhasilan nyata.

B.Sekolah Sebagai Sistem Sosial

Sebagai sistem sosial, sekolah merupakan akumulasi komponen-komponen sosial integral yang saling berinteraksi dan memiliki kiprah yang bergantung antara satu sama lain. Zamroni (2001) menyatakan bahwa pendekatan microcosmis melihat sekolah sebagai suatu dunia sendiri, yang di dalamnya memiliki unsur-unsur untuk bisa disebut suatu masyarakat, seperti pemimpin, pemerintahan, warga masyarakat atau aturan dan norma-norma serta kelompok-kelompok sosialnya.  Sesuai dengan pendekatan fungsional struktural, lembaga sekolah diibaratkan masyarakat kecil yang memiliki kekuatan organis untuk mengatur dan mengelola komponen-komponennya. Bagian-bagian tersebut diatur dan terintegrasi dalam naungan sistem kendali sosial berwujud organisasi formal. Pedoman formal merupakan rujukan fundamental dari seluruh latar belakang sikap dan perilaku para pengemban status dan peran di sekolah. Pendekatan fungsional struktural melihat lingkungan sekolah pada hakikatnya merupakan susunan dari peran dan status yang berbeda-beda, dimana masing-masing bagian tersebut terkonsentrasi pada satu kekuatan legal struktural yang menggerakkan daya orientasi demi mencapai tujuan tertentu. Tentu saja sistem sosial tersebut bermuara pada status sekolah sebagai lembaga formal. Keberadaan guru, siswa, kepala sekolah, psikolog atau konselor sekolah, orang tua, siswa, pengawas, administratur merupakan komponen-komponen fungsional yang berinteraksi secara aktif dan menentukan segala macam perkembangan dinamika kehidupan sekolah sebagai organisasi pendidikan formal. Sehingga di sini fungsional strukural melandasi pandangan kita untuk melihat berbagai peran dan status formal di sekolah sebagai satu-satunya pedoman mendasar atas segala aktivitas yang dilakukan oleh warganya. Seluruh warga pengemban kedudukan telah tersosialisasi norma-norma sekolah sesuai dengan porsi statusnya sehingga menyokong terbinanya stabilitas sosial dalam sekolah. Manifestasi peran mendasar norma-norma sekolah telah mengikat warganya dalam nuansa integritas kesadaran yang tinggi. Sementara itu, pendekatan konflik lebih menekankan porsi penilaian subjektif para pelaku peran di sekolah dan konsekuensi objektif atas wujud sekolah sebagai lembaga yang memelihara sistem kekuasaan. Pendekatan konflik melihat sisi lain dari tertibnya perilaku masyarakat sekolah dalam mengamalkan hasrat-hasrat individunya yang senantiasa patuh pada kekuatan normatif. Lockwood melihat bahwa setiap situasi sosial selalu mengandung dua hal yakni tata tertib sosial yang bersifat normatif serta sub-stratum yang melahirkan konflik. Tumbuhnya sistem nilai normatif sebagai acuan utama para pelaku peran di sekolah bukan berarti melenyapkan potensipotensi konflik. Oleh sebab itu, stabilitas sosial yang dicerminkan oleh pengaturan peran dan status seperti guru, kepala sekolah, pejabat struktural sekolah, pengawas sekolah, murid, administratur sekolah, orang tua siswa, petugas kebersihan pada dasarnya mencerminkan bentuk pengaturan manifes atas masing-masing kepentingan yang sebenarnya saling bertentangan. Secara lebih radikal beberapa penganut pendekatan konflik menegaskan bahwa tatanan sosial yang ada (termasuk di sekolah) merupakan hasil kekuasaan dominan baik itu bersumber dari paksaan secara fisik maupun kekerasan simbolik (symbolic violence). Artinya kelas sosial dominan memiliki simbol-simbol sosial yang menghegomoni kesadaran seluruh anggota agar sejalur dengan sistem nilai objektif yang pada hakikatnya banyak berpihak pada golongan atau kelas yang berkuasa. Di dalam sekolah, seorang kepala sekolah selain memiliki kedudukan formal sebagai pemimpin sekolah ternyata juga mengindikasikan pertentangan kepentingan dan otonomi status lain yang lebih rendah, misalnya para guru, staf-staf administrasi dan sebagainya. Terhadap guru, ketika seorang kepala sekolah menjalankan fungsi formalnya, maka ada titik pertentangan yang menggoyahkan otonomi peran guru dalam mengelola belajar mengajar. Di satu sisi kepala sekolah breharap agar siswa berhasil dalam belajar dengan proses pengajaran yang efektif, efisien serta mampu mencapai target penguasaan materi yang banyak. Di sisi lain, harapan yang melambangkan kepentingan status kepala sekolah tersebut tentunya membebani peran sekaligus otonomi kedudukan guru dalam mengelola pembelajaran di kelas.

Dan juga ada struktur sosial sekolah kita analisis berbagai anggota menurut kedudukannya dalam sistem persekolahan. Beberapa kedudukan di bentuk dan dibangun berdasarkan sistem klasifikasi sosial di antaranya adalah:

2.1. Kedudukan berdasarkan jenis kelamin.

Akan mengidentifikasi pelakunya pada perbedaan seks atau kelamin bu guru, pak guru, murid putri, siswa lelaki, pak kepala sekolah dan lain sebagainya. Secara sosial kedudukan berdasarkan seks merupakan pembedaan ruang orientasi atas dasar perbedaan fisik. Pembedaan tersebut merupakan dampak kultural dari masyarakat yang lebih luas, dimana perbedaan kelamin masih mengkisahkan pembagian kerja, hak, serta ruang gerak yang berbeda pula. Namun secara struktural pembedaan jenis kelamin tidak begitu mempengaruhi kualitas penerapan ketentuan formal sebuah lembaga. Seorang kepala sekolah wanita tetap saja memiliki otoritas atau kewenangan kekuasaan terhadap para guru lelaki maupun wakasek laki-laki.

2.2. Kedudukan berdasarkan struktur formal di lembaga

Misalnya kepala sekolah, guru, staf administrasi, pesuruh, siswa dan lain sebagainya. Kategori kedudukan ini dilandasi oleh ketentuan-ketentuan formal yang melembagakan serangkaian peran dan pemetaan kewenangan struktural berdasarkan pembagian wilayah kekuasaan yang bersifat hierarkis. Sesuai dengan formasi struktur lembaga sekolah maka masing-masing posisi menggambarkan tingkat kekuasaan yang bertingkat-tingkat. Posisi teratas menggambarkan puncak pengakuan otoritas tertinggi lalu secara gradual makin berkurang pada posisi-posisi di bawahnya. 

2.3. Kedudukan berdasarkan usia. 

Pengakuan terhadap kategori sosial ini didasarkan konstruksi sosial sekolah sebagai lembaga pendidikan. Berangkat dari pengertian tentang pengajaran sebagai sumber dari keberadaan sekolah dan segala aktivitas kelembagaannya. Sementara proses pengajaran tidak lepas dari hubungan antara pengajar dengan yang belajar. Maka bisa ditangkap indikasi kecenderungan dalam lembaga sekolah untuk mengutamakan sistem nilai berdasarkan usia. Mereka yang tua dikontruksikan sebagai pengajar, teladan, sumber nilai kebaikan, pengontrol moral, berkemampuan tinggi dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, pengakuan kedudukan berdasarkan usia sangat kental sekali melekat dalam orientasi warga sekolah.

C. Keluarga sebagai system 

Keluarga sebagai sistem mempunyai sub-sistem yaitu anggota, fungsi, peran, aturan, budaya, dan lainnya yang dipelajari dan dipertahankan dalam kehidupan keluarga. Adanya keterkaitan hubungan dan ketergantungan antar sub-sistem yang merupakan unit (bagian) terkecil dari masyarakat dapat memengaruhi suprasistemnya.

Definisi Keluarga Menurut Fitzpatrick (2004) dalam Lestari (2012), definisi tentang keluarga setidaknya dapat ditinjau berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu: 

3.1. Definisi struktural Keluarga 

Didefinisikan berdasarkan keberadaan atau ketidakberadaan anggota keluarga, seperti orang tua, anak, dan kerabat lainnya. Definisi ini memfokuskan pada isi dari keluarga sebagai asal usul (families of origin), keluarga sebagai tempat melahirkan keturunan (families of procreation), dan keluarga batih (extended family). 

3.2. Definisi fungsional Keluarga 

Didefinisikan melalui peran dan fungsi-fungsi psikososial. Fungsi-fungsi tersebut mencakup perawatan, sosialisasi, dukungan emosi dan materi, maupun pemenuhan peran-peran tertentu. 

3.3. Definisi intersaksional Keluarga 

Didefinisikan sebagai kelompok yang memiliki rasa kedekatan satu sama laindengan adanya rasa identitas sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita masa depan. Definisi ini memfokuskankeluarga dalam melaksanakan fungsinya.

D. Fungsi Keluarga 

Keluarga sejahtera dapat dicapai apabila setiap keluarga menerapkan fungsi- fungsi yang menjadi prasyarat, acuan dan pola hidup setiap keluarga, dalam upaya membangun kehidupan keluarga yang berkualitas.  Secara umum fungsi keluarga (Friedman, 1998; 2002) adalah sebagai berikut: 

4.1. Fungsi afektif (the affective function) 

adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu dalam mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain. Fungsi ini dibutuhkan dalam perkembangan individu dan psikososial anggota keluarga. 

4.2. Fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi 
adalah fungsi keluarga dalam mengembangkan dan melatih berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah.

4.3. Fungsi reproduksi (the reproductive function) 

Adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga. 

4.4.Fungsi ekonomi (the economic function)

Yaitu keluarga berfungsi dalam memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan guna  memenuhi kebutuhan keluarga. 

4.5. Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan (the health care function)

Yaitu fungsi keluarga dalam mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas yang tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi tugas keluarga di bidang kesehatan.

Kesimpulan

Sekolah merupakan institusi sosial yang tidak luput dari pengaruh-pengaruh kebudayaan-kebudayaan. Sebagai institusi, sekolah mempunyai sistem sosial, organisasi yang unik, termasuk pola interaksi sosial diantara para anggotanya, yang selanjutnya disebut dengan kebudayaan sekolah. Sedangkan Ruang kelas merupakan miniatur dari kelompok yang lebih besar, yaitu masyarakat karena di sana berkumpul person-person dari latar belakang status sosial dan ekonomi yang berbeda-beda, meskipun dengan struktur profesi dan peran yang sama.

Pada masyarakat modern kehidupan manusia tidak pernah lepas dari pergulatan aktivitasnya dengan organisasi. Secara historis, keberadaan organisasi merupakan cerminan tingkat kemajuan masyarakat yang sudah tinggi. Masyarakat tersebut telah mengembangkan satu bentuk perekat hubungan yang dinamakan solidaritas organik. Jenis solidaritas ini merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks, masyarakat yang telah mengenal pembagian kerja secara rinci dan dipersatukan oleh rasa ketergantungan antar bagian. Tiap anggota menjalankan peran berbeda dan di antara berbagai peran tersebut menumbuhkan rasa saling tergantung seperti layaknya sistem hubungan antarbagian dalam organisme biologis. 

Maka dari itu, sebagai studi kasus terhadap kajian ini, kita coba membaca realita yang ada di masyarakat hari ini, mengapa masih banyak masyarakat yang tidak berminat unntuk menyhekolahkan putrinya di sekolah tertentu?. Apakah sistem sosial yang dibangun dalam sekolah itu yang terimplementasikan dalam interaksi di kelas-kelas sudah sesuai dengan budaya dan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat sekitar apa belum?.